Teori Behaviorism dalam Pembelajaran Bahasa Inggris
Berikut beberapa implikasi teori behaviourisme (Behaviorist Theory) dalam pembelajaran bahasa Inggris.
Pada dasarnya teori behaviorisme bukanlah teori yang dikhususkan untuk pembelajaran bahasa Inggris. Teori behavioris ini diperuntukkan untuk semua pembelajaran termasuk matematika, fisika, dan lain-lain.
Reinforcement and punishment
Teori behaviorisme menekankan pentingnya pemberian hadiah (reinforcement) dan hukuman (punishment). Menurut para ahli bidang teori ini, pemberian hadiah mampun memotivasi dan mendorong pelajar untuk terus belajar dan berusaha memahami pelajaran. Sementara hukuman dimanfaatkan ketika siswa tidak melakukan pembelajaran sebagaimana mestinya. Dengan hukuman, diharapkan siswa tidak akan lagi melakukan kesalahan mereka dalam proses pembelajaran dan juga ini memberi tahu mereka bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hal yang salah, sehingga dapat membuat mereka menghindari kesalahan yang sama ke depannya.
Imitation, practice, dan feedback
Behaviorisme percaya bahwa siswa, sebagaimana anak-anak, mampu berbahasa karena mengandalkan proses imitasi (peniruan). Mereka juga yakin bahwa dalam meniru siswa mesti terus melakukan pengulangan (practice). Misal, ketika siswa ingin belajar tentang kalimat "how are you?", mereka mesti terus mengulang mengatakan kalimat ini. Inilah asal dari istilah `Practice makes perfect!`.
Penting bahwa pengulangan ini dilakukan dengan cara meniru bagaimana orang dewasa melakukannya, termasuk mengikuti cara pengucapannya (pronunciation). Agar siswa sukses dalam hal imitasi (peniruan), guru diharapkan mampu memberikan model yang benar. Misal, ketika siswa mengatakan kalimat salah, seperti `I go to store yesterday`, maka guru diharapkan langsung secara konstan memberikan pembenaran (constant feedback) kepada siswa, karena ditakutkan mereka akan terus mengulang kesalahan yang sama.
Penting bahwa pengulangan ini dilakukan dengan cara meniru bagaimana orang dewasa melakukannya, termasuk mengikuti cara pengucapannya (pronunciation). Agar siswa sukses dalam hal imitasi (peniruan), guru diharapkan mampu memberikan model yang benar. Misal, ketika siswa mengatakan kalimat salah, seperti `I go to store yesterday`, maka guru diharapkan langsung secara konstan memberikan pembenaran (constant feedback) kepada siswa, karena ditakutkan mereka akan terus mengulang kesalahan yang sama.
L1 transfer, interference and contrastive analysis
Bahasa pertama / bahasa ibu (L1) dapat mempengaruhi pembelajaran (pemerolehan) bahasa baik secara positif maupun negatif. Pengaruh L1 dapat membantu (positif) ketika struktur bahasa L1 itu mirip atau sama dengan bahasa yang sedang dipelajari (L2). Sementara ketika berbeda, maka dapat memberikan dampak negatif terhadap pembelajaran L2. Misal:
a. Saya pergi sekolah tiap hari. (I go to school every day.)
a. Saya pergi sekolah tiap hari. (I go to school every day.)
b. Saya pergi sekolah kemairn. (I went to school yesterday.)
c. Ali pergi sekolah tiap hari. (Ali goes to school every day.)
Terlihat di kalimat a, b, dan c bahwa kata kerja `pergi` dalam bahasa Indonesia tidak pernah berubah, sementara bahasa Inggris berubah dari `go` menjadi `went` dan `goes`. Perbedaan ini bagi penganut teori behaviorime dapat menghalangi siswa dalam belajar bahasa Inggris, dan perbedaan ini diistilahkan `interference`. Proses analisis perbedaan dan persamaan bahasa L1 & L2 dipelajari dalam teori `contrastive analysis`.
Kritik
Dalam artikel ini tidak disediakan kritik teori behaviorisme secara rinci. Namun perlu diketahui bahwa teori ini sudah banyak dikritik dengan hasil penelitian saat ini termasuk tidak `masuk akal` nya kepercayaan bahwa L1 transfer dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa sebagaimana yang dipercaya oleh para penganut teori behaviorisme. Alasannya ialah anak-anak dalam berbahasa kadang ditemukan membuat bahasa yang tidak sesuai dengan bahasa orang dewasa. Misal, anak-anak biasa mengatakan `Don`t chocolate my biscuit!` (jangan memberikan coklat ke biskuit saya!). Kata `chocolate` mereka jadikan verb, sementara orang dewasa tidak pernah mengatakan hal tersebut, tidak pernah menjadikan kata `chocolate` menjadi verb. Pertanyaanya kemudian ,darimana mereka (anak-anak) mendapatkan kalimat seperti ini?
Main reference:
VanPatten, B., & Williams, J. (Eds.). (2014). Theories in second language acquisition: An introduction. Routledge.
No comments:
Post a Comment