Thursday, June 7, 2018

Riba : Materi PAI

Sudah menjadi tradisi bertahun tahun, tradisi tukar uang baru juga ramai beberapa minggu sebelum Lebaran. Sehingga munculah permaslahan yang tergolong pada kategori riba. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, penukaran uang di jalan hukumnya bisa tergolong haram, jika terpenuhi unsur riba dalam proses tukar menukar tersebut.

"Tukar menukar seperti itu boleh, asal tidak diperjanjikan misalkan uang Rp100 ribu ditukar dengan janji jadi Rp120 ribu,"

Hukum Islam Tentang Riba : menjelaskan pengertian dan hukum riba, macam-macam riba, hikmah dilarangnya riba, serta menjauhi praktek riba.
 tradisi tukar uang baru juga ramai beberapa minggu sebelum Lebaran Riba : Materi PAI

Pengertian dan hukum riba

Menurut Bahasa, kata “ الربا “ berarti “kelabihan” atau “tambahan”. Sedang menurut istilah dalam ilmu fikih, riba di definisikan dengan :
فَضْلُ مَالٍ بِمَالٍ فِى مُعَاوَضَةِ  مَالٍ بِمَالٍ 
Artinya : “Kelebihan atau tambahan harta tanpa ada gantinya dalam suatu pertukaran harta dengan harta”.

Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat jatuh tempo. Misalnya : Fulan meminjam uang Fulanah sebesar Rp. 100.000,- untuk masa satu bulan. Fulanah bersedia meminjamkannya apabila Fulan mau mengembalikannya sebesar Rp. 110.000,- pada saat jatuh tempo. Kelebihan Rp. 10.000,- yang harus dibayar Fulan itulah yang disebut “Riba”.

Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa dalam muamalah yang mengandung unsur riba hukumnya “haram”. Keharaman harta riba itu di dalam Al Qur’an ditandai dengan beberapa pernyataan Allah sebagai berikut :

Harta riba ditangan seseorang tidak akan bertambah, melainkan bakal hangus : 

يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ٢٧٦  
Artinya : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” (Al Baqarah ayat 276).

Menghindari makan riba merupakan manisvestasi iman dan taqwa : 

عَنِ ابْنِ مسعوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَْى اللهُ عليْهِ وَسلَمَ قَال الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا أَنْ يُنْكِحَ الرَّجُلُ اُمَّهُ ـ رواه ابن ماجه والحكم ـ
Artinya : “Riba itu pintu (dosa) ada 73, dosanya yang paling ringan adalah (sebagaimana) dosa seseorang meniduri ibunya”(HR. Ibnu Majah dan Al Hakim).

Macam-Macam Riba

Sebagian ulama membagi riba menjadi dua macam :

Riba Nasi’ah ( ربا النسيئة )

Disebut juga dengan “Riba Jahiliyah”, karena masyarakat Jahiliyah tidak mengenal jenis riba kecuali riba yang satu ini. Dalam sebuah hadis disebutkan :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَْى اللهُ عليْهِ وَسلَمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِا لْحَيَوَانِ نَسِيْئَةَ ـ رواه الخمسة وصخحه التّرمذي ـ
Artinya : “Sesungguhnya Nabi s.a.w. melarang menjual binatang dengan binatang yang pembayarannya ditunda”(HR. Imam lima dan disahihkan oleh Turmudzi).

Pengertian riba nasi’ah ada dua macam :

“Kelebihan atau tambahan yang disyaratkan oleh pihak pemberi hutang (debitur) kepada pihak penghutang (kreditur) karena pihak penghutang meminta penundaan waktu pembayaran”. Misalnya : ketika waktu pembayaran sudah jatuh tempo, ternyata orang yang berhutang tidak sanggup membayar lalu meminta waktunya diperpanjang, maka jumlah utangnya menjadi bertambah.

Pengertian yang pertama ini menunjukkan bahwa kelebihan atau tambahan dalam pembayaran hutang itu menjadi riba dan haram hukumnya karena disyaratkan oleh pihak pemberi hutang gara-gara penundaan waktu pembayaran. Tetapi kalua tidak disyaratkan, misalnya pihak penghutang memberikan tambahan pembayaran atas kehendak sendiri sebagai tanda terima kasih atas kebaikan pihak pemberi hutan, maka tidak tergolong riba dan hukunya boleh. Dalam sebuah hadis disebutkan :
اِسْتَقْرَضُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ سِنًّا فَأَعْطَى سِنًّا خَيْرٍا مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً ـ رواه احمد والترمذي عن ابي هريرة ـ
Artinya : “Rasulullah SAW pernah berhutang seekor ternak, kemudian beliau membayar dengan ternak yang lebih baik dari pada ternak (yang dihutangkan kepada beliau). Dan beliau bersabda : Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang mau membayar hutangnya dengan yang lebih baik” (HR. Ahmad dan Turmudzi dari Abu Hurairah).

“Kelebihan atau tambahan dalam pertukaran dua barang berlainan jenis, yang disyaratkan oleh pihak tertukar kepada pihak penukar, karena pihak penukar tidak menerima barangnya kepada pihak tertukar secara kontan”. Misalnya dalam jual beli barter, seseorang membeli 1 kg terigu dengan 2 kg beras yang akan diterimakan dua bulan yang akan datang.

Pengertian yang kedua ini menunjukkan bahwa pertukaran dua barang yang berlainan jenis (bukan sejenis) dalam ukuran timbangan atau takaran yang tidak sama, hukumnya haram bukan karena disyaratkan adanya kelebihan atau tambahan, melainkan karena pihak penukar tidak menerimakan barangnya kepada pihak tertukar secara kontan. Seandainya barang dari pihak penukar itu diterimakan secara kontan kepada pihak tertukar, meskipun pihak tertukar mensyaratkan adanya tambahan, maka akad pertukaran seperti itu boleh dan sah, asalkan dua barang yang dipertukarkan itu berlainan jenis. Adapun pertukaran dua barang sejenis tergolong dalam jenis riba yang kedua (Riba Nasi’ah).

Riba Fadlal ( ربا الفضل )

Yaitu “Kelebihan atau tambahan pada salah satu diantara dua harta / barang sejenis yang diperjual belikan dengan ukuran timbangan atau takaran tertentu”. Misalnya : 1 kg gula milik Bu Fulan ditukar dengan 1¼ kg gula milik Bu Fulanah, maka kelebihan ¼ kg itulah yang disebut “Riba Fadlal”. Dengan demikian, Riba Fadlal itu hanya berlaku dalam “jual beli barter” yaitu barang ditukar dengan barang, bukan dengan nilai uang. Rasulullah bersabda :
الذَّهَبُ بِالذَّهَب وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ ـ رواه مسلم عن عبادة بن الصامت ـ
Artinya : “(Memperjual belikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam (haruslah) sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis-jenis yang diperjual belikan itu berbeda, maka jualla sesuai dengan kehendak (boleh lebih) asal dengan tunai”(HR. Muslim dari Ubadah bin Shamit).

Dalam hadis diatas disebutkan 6 jenis barang : emas,, perak, gandum, kurma, anggur dan garam. Keenam jenis barang itu dalam Bahasa fikih disebut “Barang Ribawi atau Ribawiyah”. Apabila ditukarkan dengan barang sejenis dalam ukuran timbangan atau takaran yang tidak sama, baik kontan maupun tidak, maka kelebihan timbangan atau takaran pada salah satu dari dua barang sejenis itu dinyatakan sebagai riba. Hanya saja yang diharamkan adalah kelebihan dalam bilangan ukuran timbangan atau takaran, bukan kelebihan dalam bilangan meteran. Kalua 1 buah telur dituka dengan 2 buah telur. 1meter kain tetoron ditukar dengan 2 meter kain sejenis, maka tambahan atau kelebihan itu hukumnya boleh dan sah, asalkan kontan.

Selain itu, hadis tersebut dimuka masih menimbulkan pertanyaan apakah hanya keenam jenis barang itu saja yang tergolong barang ribawi, sehingga tidak boleh dipertukarkan dengan barang sejenis dalam ukuran timbangan atau takaran yang tidak sama ? Dalam hal ini ada beberapa pendapat :
  • Menurut Mazhab Dhahiri, hanya terbatas pada keenam jenis barang itu saja yang haram dipertukarkan dengan barang sejenis dalam ukuran timbangan atau takaran yang tidak sama, baik kontan maupun tidak.
  • Menurut Imam Hambali dan Imam Hanafi, tidak hanya terbatas pada keenam jenis barang itu saja, melainkan semua jenis barang yang menggunakan ukuran timabngan atau takaran.
  • Menurut Imam Syafi’I, barang ribawi itu adalah emas dan perak beserta segala jenis bahan makanan pokok, buah-buahan dan jamu obat-obatan.
  • Menurut Imam Sa’id bin Al Musayyad, hanya terbatas pada jenis bahan makanan pokok yang menggunakan ukuran timbangan atau takaran.
  • Menurut Imam Maliki, hanya terbatas pada jenis bahan makanan pokok.
Dari kelima pendapat tersebut diatas telah disimpilkan oleh Dr. Wahbah Az Zuchaili bahwa “barang ribawi” itu (yakni suatu barang yang tidak boleh ditukarkan dengan barang sejenis dalam ukuran timbangan atau takaran yang tidak sama) tediri dari tiga macam :
  1. Perhiasan emas dan perak
  2. Bahan makanan pokok
  3. Buah-buahan
Selanjutnya Dr. Wahbah Az Zuchaili menyatakan bahwa menukarkan bahan makanan pokok atau buah-buahan dangan pertukaran yang sejenis tapi dalam ukuran timbangan atau takaran yang tidak sama, maka kelebihan atau tambahannya itu dianggap “riba” apabila ukuran mencapai ½ sha’ (1350 gr) atau lebih. Sedangkan pada emas dan perak, ukuran kelebihannya yang haram adalah 2,975 gr. Kurang dari itu, maka kelebihan dalam pertukaran dau barang sejenis kata beliau adalah sah (“Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu” juz IV halaman 6780).

Secara garis besar riba diharamkan dalam ajaran Islam itu menurut sebagian ulama ada 2 : Riba Nasi’ah dan Riba Fadlal. Sedangkan menurut mazhab Syafi’I ada 3 : Riba fadlal, Riba Zad dan Riba nasi;ah. Namun Imam Al Mutawalli, salah seorang ulama dari mazhab Syafi’I, membagi riba menjadi 4 macam :
1. Riba fadlal sebagaimana telah dijelaskan diatas
2. Riba Nasi’ah sebagaiana juga telah diuraikan diatas
3. Riba Qardlin yaitu pinjam meminjam atau berutang piutang dengan menarik keuntungan dari orang yang meminjam atau yang berutang. Seperti meminjam uang dengan dikenakan bunga misalnya 1,4 % perbulan. Ini jelas merupakan praktik riba, karena waktu 10 bulan saja bunganya sudah berlipat ganda. Apabila jika bunga itu sebesar 15 %, 20% atau 25% seperti praktek yang terjadi dikampung-kampung. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا ـ رواه البيهقي ـ
Artinya : “Setiap piutang yang menarik keuntungan adalah riba” (Riwayat Baihaqi).
4. Riba Yad,  Ada yang mengartikannya sebagai barang yang masih dalam penawaran, lalu barang itu ditawarkan oleh pembeli kepada orang lain. Ada pula yang mengartikannya sebagai jual beli yang barangnya maupun pembayarannya atau salah satu dari keduanya tidak diserah terimakan pada waktu akad, melainkan akan diserah terimakan dalam batas waktu yang tidak ditentukan.
واللهُ اعلم

Sumber https://ibadjournals.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment